Rabu, 07 Desember 2016

ADA APAKAH DIBALIK KEBUDYAAN INDONESIA TUGU MONAS DAN BUNG KARNO  ?

Monas adalah mimpi Bung Karno tentang Indonesia, mimpi besar Bung Karno tentang sejarah, seorang negarawan berpikir 100 tahun ke depan, ide-idenya mungkin tidak dipahami oleh orang orang di jamannya, tapi ia tetap hidup dalam sejarah itu sendiri.


Kenapa Bung Karno sangat concern kepada Kebudayaan, di tahun 1932 Bung Karno bicara dan menggugat tentang modal modal kapital, dengan lagak teatrikalnya Bung Karno menguliahi para hakim hakim di depan Landraad Bandung soal Politik Ekonomi Perkebunan, politik ekonomi modal, dalam kuliah politik itu yang termaktub "Indonesia Menggugat", Bung Karno kemudian menjabarkan di ujung perkataannya soal berdaulat di segala lini, kemudian Bung Karno menggambarkan Indonesia dalam panggung tonil tentang Indonesia Raya, "bangsa yang tumbuh dalam dirinya rasa budaya".



Kebudayaan adalah kekayaan utama Republik, inilah bangsa paling kaya di dunia soal Kebudayaan, Bung Karno selalu bermimpi Indonesia menjadi Mercusuar dunia, bukan saja mengenalken Pancasila ke seluruh dunia, tapi kebudayaan Nusantara menyumbang peradaban dunia.



Kebudayaan Nusantara itu tumbuh dalam situasi-situasi organik, kebudayaan Nusantara itu ada dalam tiap masyarakatnya dengan sejarah paling unik, pemaknaan dalam Kebudayaan Nusantara itu yang kemudian di bunga rampai oleh Bung Karno menjadi "Kebudayaan Nasional".



Monas ingin dijadikan Museum Besar oleh Bung Karno, lebih besar dari Museum-Museum Amerika Serikat, Bung Karno melihat Museum sebagai pusat keramaian masyarakat, Museum bukan bangunan angker tanpa sebab, tapi ia pusat kesadaran, dipenuhi oleh rakyat yang ingin tau asal dirinya dan bagaimana dirinya membentuk masyarakat. Museum Museum yang dibangun di Jaman Hindia Belanda, dibalik situasinya di Monas, menjadi "Museum Besar Kemerdekaan", kata Bung Karno saat meletakkan batu pertama pembangunan di Monas 17 Agustus 1961. Lambang Monas adalah "Lingga dan Yoni" lambang proses produksi kehidupan, dulu di empat sisi Monas ada patung Banteng raksasa, yang artinya "Pergulatan hidup yang dinamis", Bung Karno meletakkan simbol simbol dalam gerak budaya.



Mimpi besar Bung Karno saat itu menjadikan "Monas" bukan saja Pusat Kebudayaan, tapi pusat kegembiraan, di kemudian waktu Ali Sadikinlah yang membaca ini kemudian dibangunlah apa yang disebut "Jakarta Fair", pada dekade dekade lalu, "Jakarta Fair" adalah Pusat Kegembiraan di Jakarta, ia menggantikan "Pasar Malam Gambir" buatan Van Heutz yang pernah disebut oleh sebuah harian Perancis sebagai "Pasar Malam terindah buatan negara Kolonial".



Dari situasi keterjajahan, inferioritas Bung Karno membalikan keadaan, ia membangun titik nol kilometer Indonesia, ia membangun kebudayaan yang bergerak di Monas, sepanjang Boulevard Thamrin-Sudirman, dibentuklah gerak kebudayaan itu sebagai "Festival Internasional", Jakarta seturut mimpi Bung Karno menjadi "Pusat Kebudayaan Dunia".



Tapi apa yang terjadi sekarang, bangsa ini tak menggali kekayaan kebudayaan sendiri sebagai basis kapital, Amerika Serikat memenangkan pertarungan dunia karena ia menang secara budaya, Sovjet Uni dibawa Brezhnev bisa saja kuat secara militer, tapi Ronald Reagan menyodorkan budaya budaya pop ke Amerika dan kemudian infiltrasi musik Metal menguasai Moskow, lalu tibalah musim semi Glasnost dan Perestroika dibawah Gorbachev, budaya Amerika menjadi musim semi yang tumbuh dan menumbangkan Sovjet. Mungkin ini agak berlebihan tapi kemenangan Reagan atas Sovjet adalah kemenangan budaya.



Bung Karno bukan saja seorang pelagak besar di dunia panggung, tapi ia juga pemimpi besar, ia berniat membangun Kebudayaan Nusantara sebagai Kebudayaan Agung Binatara, kebudayaan yang mengilhami dunia untuk bersatu dibawah Perdamaian dunia, Bung Karno bermimpi Dunia Bersatu dan Bergerak tidak berdasarkan Blok Amerika dan Blok Sovjet Uni, tapi berdasarkan Masyarakat Bebas, Masyarakat Gotong Royong, itu mimpi besar Bung Karno yang kerap dicibiri lawan politiknya sebagai "Mimpi di Siang Bolong".



Tapi Bung Karno bertindak, setidak tidaknya ia punya mimpi yang dibangun dengan naluri seorang budayawan, ia bangun Monas, ia bangun Gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces), sebuah kekuatan kekuatan baru yang membebaskan dunia dari tekanan kapitalistik dan imperium komintern-Stalinis. Menjadi sebuah komunitas Gotong Royong, kita mengenal Gedung itu sebagai Gedung DPR/MPR.



Tapi bagaimana nasib kebudayaan kita sekarang, dengan Singapur aja kita kalah telak, kebudayaan kebudayaan dunia di wilayah selatan berpusat di Singapur dan Sydney. Ini harus jadi Pikiran kita, kebudayaan selama ini dipikirkan sebagai "Beban Politik" bukan "Alat Kapital", selama penguasa masih berpikir Kebudayaan sebagai "Cost" bukan "Profit" maka selama itu pula kebijakan publik tidak berpihak pada pengembangan budaya.



Budaya kita dipandang oleh generasi muda sebagai bagian dari masa lalu, padahal kalau kita meresapi seluruh narasi narasi kebudayaan di masa jaya-nya Nusantara dalam konteks kekinian kita bisa mengupas menjadi kekayaan nasional baik bernilai materi maupun kekayaan batin.



Kita diasingkan dalam budaya sendiri, kita malu dengan bahasa Indonesia karena dianggap bahasa pinggiran, padahal Bung Karno mengajak manusia Indonesia, sebagai Manusia Revolusioner, apa itu Manusia Revolusioner, yaitu Manusia yang mampu mengubah dunia, mengubah peradaban seturut dengan alam pikiran Nusantara.



Monas adalah tinggalan Bung Karno, melihat kebudayaan kita menjadi pariah dalam kemajuan kemajuan kebudayaan dunia, harus disadari sehingga kita bangkit, jikalau kita mampu memproduksi kebudayaan Nusantara menjadi kebudayaan yang merumuskan peradaban dan menjadi daya tarik, maka tanpa jual batubara, tanpa merusak hutan, tanpa merusak tanah dengan tambang, kita menjadi bangsa paling kaya di dunia.


Tapi apakah kita bisa mengenali kekuatan itu, lihatlah ke Monas dan ingatlah mimpi Bung Karno...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar